PERSOALAN PENDIDIKAN KITA
Oleh Prof. Suyanto, Ph.D
Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional. Sudah sepantasnya kita menaruh kepedulian yang tinggi terhadap sektor pendidikan, mengingat setelah 60 tahun merdeka, pendidikan di negeri ini masih menghadapi segudang persoalan yang sulit untuk dipecahkan dalam kurun waktu yang singkat. Jika kita ingin menjadi bangsa yang kuat seperti negara-negara maju di dunia saat ini, mau tidak mau sektor pendidikan harus menjadi prioritas pembangunan bangsa. Manakala prioritas pembangunan pendidikan harus ditaruh dalam skala yang penting, kita (pemerintah, masyarakat, dan keluarga) harus memiliki kesadaran yang tinggi akan berbagai kelemahan yang ada dalam dunia pendidikan, dan dengan
demikian harus segera ditangani secara tersistem dan berkelanjutan.
Berikut ini adalah beberapa dari sekian banyak persoalan pendidikan yang pantas menjadi perhatian kita semua. Pertama, kita menjadi lemah saat ini akibat rendahnya partisipasi partisipasi pendidikan. Jumlah penduduk usia pra sekolah (5 – 6 tahun) sebanyak 8.259.200 baru tertampung 1.845.983 anak (22, 35%); Jumlah penduduk usia Sekolah Dasar (7 – 12 tahun) sebanyak 25.525.000 baru tertampung 24.041.707 anak (94.19%); Jumlah penduduk usia SMP (13 –15 tahun) sebanyak 12.831.200 baru tertampung 7.630.760 anak (59,47%); Jumlah penduduk usia SMA (16 – 18 tahun) sebanyak 12.695.800 baru tertampung 4.818.575 anak (37,95%); Jumlah penduduk usia pendidikan tinggi (19 – 24 tahun) sebanyak 24.738.600 baru tertampung 3.441.429 orang (13,91%). Dengan data partisipasi pendidikan yang masih rendah itu konsekuensinya angkatan kerja kita yang saat ini bekerja hanya memiliki pendidikan yang kurang memadai.
Tenaga kerja kita yang memiliki pendidikan tinggi saat ini kurang dari 3%. Sebaliknya, hampir 45% tanaga kerja kita saat ini tidak lulus Sekolah Dasar. Akibatnya, produktivitas mereka juga rendah. Hal ini lebih lanjut berakibat pada rendahnya daya saing Republik ini dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, Cina, dan lebih-lebih lagi Singapore.
Persoalan kedua, masih banyaknya guru/dosen yang belum memenuhi persyaratan kualifikasi. Guru TK sebanyak 137.069, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 12.929 orang (9,43%). Guru SD sebanyak 1.234.927, yang sudah
memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 625.710 orang (50,67%). Guru SMP sebanyak 466.748, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 299.105 orang (64,08%). Guru Sekolah Menengah sebanyak 377.673, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 238.028 orang (63,02%). Dosen Perguruan Tinggi sebanyak 210.210, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 101.875 orang (48,46%).
Keadaan yang tergambarkan dalam data itu memiliki implikasi bahwa sebagian besar tenaga kependidikan kita belum bisa memenuhi kriteria untuk dijadikan sebagai tenaga kependidikan (guru) yang professional. Oleh karena itu ke depan upaya untuk melakukan penyetaraan dan peningkatan pendidikan para guru kita sesuai dengan kualifikasi yang seharusnya sangat penting. Hal ini dapat ditempuh dengan melakukan in service training bagi para guru kita yang belum memiliki kualifikasi dilihat dari tingkat pendidikan yang dimilikinya.
Persoalan pendidikan ketiga adalah angka putus sekolah (drop out) yang masih tinggi. Persentase angka putus sekolah untuk setiap jenjang pendidikan adalah sebagai berikut: angka putus sekolah untuk SD 2,97%; untuk SMP 2,42%; untuk SMA 3,06%; dan angka putus sekolah untuk Perguruan Tinggi 5,9%; Secara relatif angka ini kelihatannya kecil. Tetapi jika dilihat dari jumlah penduduk usia sekolah di setiap jenjang pendidikan, sungguh jumlah absolutnya sangat tinggi. Angka drop out harus di tekan serendah mungkin agar program wajib belajar yang harus tuntas sebelum 2015 sesuai dengan Deklarasi Dakar (Education for All) bisa menjadi kenyataan. Jika tidak, kita akan mendapatkan sangsi moral dari kekuatan internasional yang telah sepakat terhadap deklarasi Education for All. Mengapa demikian? Karena dalam deklarasi itu disepakati bahwa negara-negara yang sedang berkembang harus menuntaskan program wajib belajar di negara masing-masing sebelum tahun 2015.
Persoalan pendidikan ketiga, berupa banyaknya ruang kelas yang tidak layak untuk proses belajar-mengajar. Ruang kelas TK yang jumlahnya 93.629, yang kondisinya masih baik hanya 77.399 (82,67%); Ruang kelas SD yang jumlahnya 865.258, yang kondisinya masih baik hanya 364.440 (42,12%); Ruang kelas SMP yang jumlahnya 187.480, yang kondisinya masih baik hanya 154.283 (82,29 %); Ruang kelas SMA yang jumlahnya 124.417, yang kondisinya masih baik berjumlah 115.794 (93,07%); Di samping persoalan di atas, kita sebagai bangsa juga masih memiliki warga yang belum bisa baca-tulis secara fungsional alias buta hruf dalam jumlah yang besar. Dari jumlah penduduk 211.063.000, mereka yang masih buta huruf pada usia 15 tahun ke atas sebesar 23.199.823 (10,99%). Kondisi sekolah yang rusak itu perlu segera dibangun. Jika pemerintah mau membangun sekolah-sekolah yang rusak itu dipastikan juga akan mampu menggerakkan sektor ekonomi, mengingat untuk membangunnya paling tidak memerlukan dana kurang lebih 13 trilyun rupiah. Jika dana sejumlah itu diinvestasikan untuk membangun sekolah yang rusak, ekonomi kerakyakyatan juga akan menggeliat, bergerak ke arah yang lebih baik akibat dikucurkannya investasi itu. Inilah sekilas wajah dan persoalan pendidikan kita.
Memang masih banyak persoalan yang harus diperbaiki dalam bidang pendidikan agar kita sebagai bangsa yang besar memiliki daya saing yang tinggi di era knowledge based economy.
Semoga kita berdaya menghadapai semua persoalan pendidikan itu.
Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional. Sudah sepantasnya kita menaruh kepedulian yang tinggi terhadap sektor pendidikan, mengingat setelah 60 tahun merdeka, pendidikan di negeri ini masih menghadapi segudang persoalan yang sulit untuk dipecahkan dalam kurun waktu yang singkat. Jika kita ingin menjadi bangsa yang kuat seperti negara-negara maju di dunia saat ini, mau tidak mau sektor pendidikan harus menjadi prioritas pembangunan bangsa. Manakala prioritas pembangunan pendidikan harus ditaruh dalam skala yang penting, kita (pemerintah, masyarakat, dan keluarga) harus memiliki kesadaran yang tinggi akan berbagai kelemahan yang ada dalam dunia pendidikan, dan dengan
demikian harus segera ditangani secara tersistem dan berkelanjutan.
Berikut ini adalah beberapa dari sekian banyak persoalan pendidikan yang pantas menjadi perhatian kita semua. Pertama, kita menjadi lemah saat ini akibat rendahnya partisipasi partisipasi pendidikan. Jumlah penduduk usia pra sekolah (5 – 6 tahun) sebanyak 8.259.200 baru tertampung 1.845.983 anak (22, 35%); Jumlah penduduk usia Sekolah Dasar (7 – 12 tahun) sebanyak 25.525.000 baru tertampung 24.041.707 anak (94.19%); Jumlah penduduk usia SMP (13 –15 tahun) sebanyak 12.831.200 baru tertampung 7.630.760 anak (59,47%); Jumlah penduduk usia SMA (16 – 18 tahun) sebanyak 12.695.800 baru tertampung 4.818.575 anak (37,95%); Jumlah penduduk usia pendidikan tinggi (19 – 24 tahun) sebanyak 24.738.600 baru tertampung 3.441.429 orang (13,91%). Dengan data partisipasi pendidikan yang masih rendah itu konsekuensinya angkatan kerja kita yang saat ini bekerja hanya memiliki pendidikan yang kurang memadai.
Tenaga kerja kita yang memiliki pendidikan tinggi saat ini kurang dari 3%. Sebaliknya, hampir 45% tanaga kerja kita saat ini tidak lulus Sekolah Dasar. Akibatnya, produktivitas mereka juga rendah. Hal ini lebih lanjut berakibat pada rendahnya daya saing Republik ini dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, Cina, dan lebih-lebih lagi Singapore.
Persoalan kedua, masih banyaknya guru/dosen yang belum memenuhi persyaratan kualifikasi. Guru TK sebanyak 137.069, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 12.929 orang (9,43%). Guru SD sebanyak 1.234.927, yang sudah
memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 625.710 orang (50,67%). Guru SMP sebanyak 466.748, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 299.105 orang (64,08%). Guru Sekolah Menengah sebanyak 377.673, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 238.028 orang (63,02%). Dosen Perguruan Tinggi sebanyak 210.210, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 101.875 orang (48,46%).
Keadaan yang tergambarkan dalam data itu memiliki implikasi bahwa sebagian besar tenaga kependidikan kita belum bisa memenuhi kriteria untuk dijadikan sebagai tenaga kependidikan (guru) yang professional. Oleh karena itu ke depan upaya untuk melakukan penyetaraan dan peningkatan pendidikan para guru kita sesuai dengan kualifikasi yang seharusnya sangat penting. Hal ini dapat ditempuh dengan melakukan in service training bagi para guru kita yang belum memiliki kualifikasi dilihat dari tingkat pendidikan yang dimilikinya.
Persoalan pendidikan ketiga adalah angka putus sekolah (drop out) yang masih tinggi. Persentase angka putus sekolah untuk setiap jenjang pendidikan adalah sebagai berikut: angka putus sekolah untuk SD 2,97%; untuk SMP 2,42%; untuk SMA 3,06%; dan angka putus sekolah untuk Perguruan Tinggi 5,9%; Secara relatif angka ini kelihatannya kecil. Tetapi jika dilihat dari jumlah penduduk usia sekolah di setiap jenjang pendidikan, sungguh jumlah absolutnya sangat tinggi. Angka drop out harus di tekan serendah mungkin agar program wajib belajar yang harus tuntas sebelum 2015 sesuai dengan Deklarasi Dakar (Education for All) bisa menjadi kenyataan. Jika tidak, kita akan mendapatkan sangsi moral dari kekuatan internasional yang telah sepakat terhadap deklarasi Education for All. Mengapa demikian? Karena dalam deklarasi itu disepakati bahwa negara-negara yang sedang berkembang harus menuntaskan program wajib belajar di negara masing-masing sebelum tahun 2015.
Persoalan pendidikan ketiga, berupa banyaknya ruang kelas yang tidak layak untuk proses belajar-mengajar. Ruang kelas TK yang jumlahnya 93.629, yang kondisinya masih baik hanya 77.399 (82,67%); Ruang kelas SD yang jumlahnya 865.258, yang kondisinya masih baik hanya 364.440 (42,12%); Ruang kelas SMP yang jumlahnya 187.480, yang kondisinya masih baik hanya 154.283 (82,29 %); Ruang kelas SMA yang jumlahnya 124.417, yang kondisinya masih baik berjumlah 115.794 (93,07%); Di samping persoalan di atas, kita sebagai bangsa juga masih memiliki warga yang belum bisa baca-tulis secara fungsional alias buta hruf dalam jumlah yang besar. Dari jumlah penduduk 211.063.000, mereka yang masih buta huruf pada usia 15 tahun ke atas sebesar 23.199.823 (10,99%). Kondisi sekolah yang rusak itu perlu segera dibangun. Jika pemerintah mau membangun sekolah-sekolah yang rusak itu dipastikan juga akan mampu menggerakkan sektor ekonomi, mengingat untuk membangunnya paling tidak memerlukan dana kurang lebih 13 trilyun rupiah. Jika dana sejumlah itu diinvestasikan untuk membangun sekolah yang rusak, ekonomi kerakyakyatan juga akan menggeliat, bergerak ke arah yang lebih baik akibat dikucurkannya investasi itu. Inilah sekilas wajah dan persoalan pendidikan kita.
Memang masih banyak persoalan yang harus diperbaiki dalam bidang pendidikan agar kita sebagai bangsa yang besar memiliki daya saing yang tinggi di era knowledge based economy.
Semoga kita berdaya menghadapai semua persoalan pendidikan itu.
Labels: artikel
- T.h.e C.o.m.m.e.n.t -