Fakta Pendidikan Indonesia
Sebuah fakta memprihatinkan tersaji dari data pokok pendidikan tahun 2004/2005 keluaran Dinas Pendidikan (Diknas) Surabaya. Diperkirakan, puluhan ribu anak usia sekolah belum bisa mengenyam pendidikan.
Berdasarkan data di Dinas Pendidikan (Diknas) Surabaya, angka partisipasi murni (APM) pendidikan untuk tingkat SD di kota ini mencapai 90, 99 persen. APM ini merupakan perbandingan antara jumlah siswa dengan jumlah penduduk usia sekolah. Itu berarti, 90 persen
penduduk usia SD di Surabaya sudah bisa bersekolah.
Angka 90 persen memang terkesan tinggi dan lebih bernuansa keunggulan. Tapi tidak untuk masalah partisipasi pendidikan di kota sekelas Surabaya. Akan lebih terasa kalau kesimpulannya berbunyi, masih ada 9,01 persen anak usia sekolah SD di Surabaya yang tidak
bisa sekolah.
Demikian juga dengan APM untuk tingkat SMP yang mencapai 79,18 persen. Dengan kata lain masih ada 21,82 persen anak usia sekolah SMP yang tidak bisa mengenyam pendidikan SMP. Ini masih belum pada jenjang SMA/sederajat yang tingkat APM-nya masih 79,79 persen.
Memang, hingga saat ini belum ada data valid yang menyebutkan angka pasti, berapa jumlah anak yang belum bisa mengenyam pendidikan minimal sembilan tahun di Surabaya. Tapi dari data ini, setidaknya sudah bisa diprediksi berapa kisarannya. Mari kita hitung.
Untuk jenjang pendidikan dasar (SD/sederajat) yang APM-nya mencapai 90,99 persen. Dalam data itu disebutkan bahwa jumlah murid di jenjang ini mencapai angka 284.750 anak. Jika dihitung dengan menggunakan persentase APM, maka diketahui jumlah anak usia SD yang masih belum mengenyam pendidikan mencapai angka 26 ribu.
Untuk jenjang pendidikan menengah pertama (SMP/sederajat) yang APM- nya mencapai 79,18 persen, berarti 20,82 persen anak usia SMP (Dengan asumsi umur 13-15 tahun) belum menduduki bangku SMP. Jumlah siswa pada jenjang ini mencapai 108.912 anak. Dengan persentase APM di atas, maka diperkirakan jumlah anak usia SMP yang tidak sekolah sekitar 28 ribu siswa.
Selain itu, dari data ini juga terungkap angka putus sekolah tengah jalan pada jenjang pendidikan dasar (SD) mencapai 0,1 persen. Ini artinya, sekitar 260 anak tak menyelesaikan pendidikan SD-nya. Sedangkan, untuk tingkat SMP/sederajat mencapai 0,38 persen. Yakni, diperkirakan sebanyak 400 anak tak melanjutkan SMP.
Ini belum termasuk angka transisi. Yaitu, angka yang menunjukkan persentase siswa yang bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Di jenjang SD menuju SMP, angkanya sebesar mencapai 90,39. Artinya, masih ada sekitar 9 persen siswa sekolah tidak bisa melanjutkan
pendidikannya.
Sementara itu, angka transisi dari jenjang SMP/sederajat ke SMA/sederajat lebih parah lagi. Yakni hanya 62 persen. Berarti 38 persen lulusan SMP langsung putus sekolah.
Pakar pendidikan dari Universitas Negeri Surabaya Muchlas Samani menilai kondisi ini sangat ironis. Misalnya untuk anak yang tidak mampu mengenyam pendidikan. Surabaya sama sekali tidak kekurangan ruang kelas baik di tingkat SD maupun SMP.
Untuk diketahui, pada jenjang SD/sederajat, jumlah ruang kelasnya sedikitnya mencapai 14.162 ruang. Asumsinya, satu kelas idealnya diisi 40 siswa. Maka jumlah kelas di kota ini bisa menampung 566.480 siswa SD. Bandingkan dengan jumlah siswa di Surabaya pada usia ini
yang hanya 284.750 anak. Bandingkan juga dengan prediksi angka anak yang tidak mengenyam pendidikan pada usia ini sebesar 26 ribu. Bukankah masih terlalu banyak kapasitas yang tak termanfaatkan?
"Jadi, adanya anak usia 7-12 tahun yang belum masuk SD dan anak usia 13-15 tahun belum masuk SMP, bukan karena tidak ada sekolah yang dapat menampungnya, tapi karena faktor lain," paparnya.
Hal ini diakui oleh kepala Diknas kota Surabaya Drs Sahudi MPd. Menurutnya, masalah ini sebenarnya sudah menjadi hal yang klasik di kota ini. "Tapi data ini tidak bisa dijadikan dasar patokan satu- satunya. Sebab, masih ada beberapa variabel yang tidak diperhitungkan
pada data ini," tuturnya.
Seperti apa? Misalnya, berapa jumlah anak sekolah yang dimasukkan orang tuanya pada pesantren tidak diperhitungkan. "Atau juga banyaknya anak yang tidak bisa melanjutkan pendidikan karena memiliki kekurangan fisik. Jadi data ini bisa jadi kurang," lanjutnya.
Malah, lanjut dia, data ini sudah mengalami penurunan pada tiap periodenya. Data pokok pendidikan pada tahun 2003/2004 menunjukkan jika persentase APM, persentase putus sekolah, maupun angka transisi lebih tinggi dibanding tahun ini.
Akar Permasalahan Lalu, apa yang menjadi pokok masalah sehingga fakta ini masih saja
terus terjadi? Menurut Sahudi faktor ekonomi tampaknya masih cukup dominan. Banyak orang tua yang tidak mempunyai biaya menyekolahkan anaknya. "Buntutnya, mereka tidak bisa membiayai anaknya sekolah," tutur Sahudi.
Selain itu, masih banyak masyarakat yang pola pikirnya kurang maju. Mereka lebih mementingkan bagaimana bisa mendapat penghidupan layak dibanding memberikan pendidikan bagi putra-putrinya. "Dan ini terjadi
di kawasan pinggiran. Terbesar ada di wilayah Surabaya utara,"
lanjutnya.
Hal ini diperkuat oleh pengalaman Muklas Samani selama di Plan International (sebuah lembaga internasional) yang melakukan penyuluhan di daerah pinggiran. Di sana diketahui bahwa masyarakat tidak menganggap pendidikan itu penting dan tidak menjamin mendapatkan pekerjaan yang baik. Di kalangan masyarakat tersebut ada ungkapan seperti ini "Meskipun ayah atau ibu tidak sekolah, toh juga dapat pergi haji" atau ungkapan "Sekolah buang-buang uang saja. Toh kalau lulus belum tentu mendapat pekerjaan".
Tapi, tambah Muklas, sudah sepatutnya pemerintah kota (dalam hal ini Diknas) segera mencarikan solusi. "Bagaimana pun juga, ini sudah menjadi amanat pemerintah untuk memberikan pendidikan minimal pada rakyat," katanya.
Lain lagi dengan yang diungkapkan ketua dewan pendidikan Jawa Timur Daniel Muhammad Rosyid. Menurutnya, hal ini tidak lepas dari kondisi sekolah kita yang terlalu formal. Maksudnya, sepertinya sekolah saatini yang merasa dibutuhkan. Termasuk, dalam menetapkan kisaran biaya
pada calon siswa. "Padahal, seharusnya siswa mendapat kemudahan
ketika akan memasuki sekolah," jelas pakar yang juga dosen ITS ini.
Daniel sendiri cukup prihatin dengan kondisi ini. Sebab, jika hal ini
tidak segera ditangani, maka akan menimbulkan satu lost generation
(satu generasi hilang). "Ini akan berdampak pada kondisi sosial
ekonomi di kota ini. Misalnya, tingginya angka kriminalitas maupun
hal lain. Dan ini adalah PR besar," lanjut Daniel kepada koran ini
kemarin.
Tapi, tampaknya angka ini tidak akan beranjak secara signifikan.
Sebab, Diknas tahun depan menargetkan angka APM bisa naik menjadi 92
persen. Mengapa? "Sebab, untuk bisa mengangkat APM secara cepat bukan
hal yang mudah. Banyak faktor yang melatarbelakangi hal ini," lanjutnya. (aris imam masyhudi
Berdasarkan data di Dinas Pendidikan (Diknas) Surabaya, angka partisipasi murni (APM) pendidikan untuk tingkat SD di kota ini mencapai 90, 99 persen. APM ini merupakan perbandingan antara jumlah siswa dengan jumlah penduduk usia sekolah. Itu berarti, 90 persen
penduduk usia SD di Surabaya sudah bisa bersekolah.
Angka 90 persen memang terkesan tinggi dan lebih bernuansa keunggulan. Tapi tidak untuk masalah partisipasi pendidikan di kota sekelas Surabaya. Akan lebih terasa kalau kesimpulannya berbunyi, masih ada 9,01 persen anak usia sekolah SD di Surabaya yang tidak
bisa sekolah.
Demikian juga dengan APM untuk tingkat SMP yang mencapai 79,18 persen. Dengan kata lain masih ada 21,82 persen anak usia sekolah SMP yang tidak bisa mengenyam pendidikan SMP. Ini masih belum pada jenjang SMA/sederajat yang tingkat APM-nya masih 79,79 persen.
Memang, hingga saat ini belum ada data valid yang menyebutkan angka pasti, berapa jumlah anak yang belum bisa mengenyam pendidikan minimal sembilan tahun di Surabaya. Tapi dari data ini, setidaknya sudah bisa diprediksi berapa kisarannya. Mari kita hitung.
Untuk jenjang pendidikan dasar (SD/sederajat) yang APM-nya mencapai 90,99 persen. Dalam data itu disebutkan bahwa jumlah murid di jenjang ini mencapai angka 284.750 anak. Jika dihitung dengan menggunakan persentase APM, maka diketahui jumlah anak usia SD yang masih belum mengenyam pendidikan mencapai angka 26 ribu.
Untuk jenjang pendidikan menengah pertama (SMP/sederajat) yang APM- nya mencapai 79,18 persen, berarti 20,82 persen anak usia SMP (Dengan asumsi umur 13-15 tahun) belum menduduki bangku SMP. Jumlah siswa pada jenjang ini mencapai 108.912 anak. Dengan persentase APM di atas, maka diperkirakan jumlah anak usia SMP yang tidak sekolah sekitar 28 ribu siswa.
Selain itu, dari data ini juga terungkap angka putus sekolah tengah jalan pada jenjang pendidikan dasar (SD) mencapai 0,1 persen. Ini artinya, sekitar 260 anak tak menyelesaikan pendidikan SD-nya. Sedangkan, untuk tingkat SMP/sederajat mencapai 0,38 persen. Yakni, diperkirakan sebanyak 400 anak tak melanjutkan SMP.
Ini belum termasuk angka transisi. Yaitu, angka yang menunjukkan persentase siswa yang bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Di jenjang SD menuju SMP, angkanya sebesar mencapai 90,39. Artinya, masih ada sekitar 9 persen siswa sekolah tidak bisa melanjutkan
pendidikannya.
Sementara itu, angka transisi dari jenjang SMP/sederajat ke SMA/sederajat lebih parah lagi. Yakni hanya 62 persen. Berarti 38 persen lulusan SMP langsung putus sekolah.
Pakar pendidikan dari Universitas Negeri Surabaya Muchlas Samani menilai kondisi ini sangat ironis. Misalnya untuk anak yang tidak mampu mengenyam pendidikan. Surabaya sama sekali tidak kekurangan ruang kelas baik di tingkat SD maupun SMP.
Untuk diketahui, pada jenjang SD/sederajat, jumlah ruang kelasnya sedikitnya mencapai 14.162 ruang. Asumsinya, satu kelas idealnya diisi 40 siswa. Maka jumlah kelas di kota ini bisa menampung 566.480 siswa SD. Bandingkan dengan jumlah siswa di Surabaya pada usia ini
yang hanya 284.750 anak. Bandingkan juga dengan prediksi angka anak yang tidak mengenyam pendidikan pada usia ini sebesar 26 ribu. Bukankah masih terlalu banyak kapasitas yang tak termanfaatkan?
"Jadi, adanya anak usia 7-12 tahun yang belum masuk SD dan anak usia 13-15 tahun belum masuk SMP, bukan karena tidak ada sekolah yang dapat menampungnya, tapi karena faktor lain," paparnya.
Hal ini diakui oleh kepala Diknas kota Surabaya Drs Sahudi MPd. Menurutnya, masalah ini sebenarnya sudah menjadi hal yang klasik di kota ini. "Tapi data ini tidak bisa dijadikan dasar patokan satu- satunya. Sebab, masih ada beberapa variabel yang tidak diperhitungkan
pada data ini," tuturnya.
Seperti apa? Misalnya, berapa jumlah anak sekolah yang dimasukkan orang tuanya pada pesantren tidak diperhitungkan. "Atau juga banyaknya anak yang tidak bisa melanjutkan pendidikan karena memiliki kekurangan fisik. Jadi data ini bisa jadi kurang," lanjutnya.
Malah, lanjut dia, data ini sudah mengalami penurunan pada tiap periodenya. Data pokok pendidikan pada tahun 2003/2004 menunjukkan jika persentase APM, persentase putus sekolah, maupun angka transisi lebih tinggi dibanding tahun ini.
Akar Permasalahan Lalu, apa yang menjadi pokok masalah sehingga fakta ini masih saja
terus terjadi? Menurut Sahudi faktor ekonomi tampaknya masih cukup dominan. Banyak orang tua yang tidak mempunyai biaya menyekolahkan anaknya. "Buntutnya, mereka tidak bisa membiayai anaknya sekolah," tutur Sahudi.
Selain itu, masih banyak masyarakat yang pola pikirnya kurang maju. Mereka lebih mementingkan bagaimana bisa mendapat penghidupan layak dibanding memberikan pendidikan bagi putra-putrinya. "Dan ini terjadi
di kawasan pinggiran. Terbesar ada di wilayah Surabaya utara,"
lanjutnya.
Hal ini diperkuat oleh pengalaman Muklas Samani selama di Plan International (sebuah lembaga internasional) yang melakukan penyuluhan di daerah pinggiran. Di sana diketahui bahwa masyarakat tidak menganggap pendidikan itu penting dan tidak menjamin mendapatkan pekerjaan yang baik. Di kalangan masyarakat tersebut ada ungkapan seperti ini "Meskipun ayah atau ibu tidak sekolah, toh juga dapat pergi haji" atau ungkapan "Sekolah buang-buang uang saja. Toh kalau lulus belum tentu mendapat pekerjaan".
Tapi, tambah Muklas, sudah sepatutnya pemerintah kota (dalam hal ini Diknas) segera mencarikan solusi. "Bagaimana pun juga, ini sudah menjadi amanat pemerintah untuk memberikan pendidikan minimal pada rakyat," katanya.
Lain lagi dengan yang diungkapkan ketua dewan pendidikan Jawa Timur Daniel Muhammad Rosyid. Menurutnya, hal ini tidak lepas dari kondisi sekolah kita yang terlalu formal. Maksudnya, sepertinya sekolah saatini yang merasa dibutuhkan. Termasuk, dalam menetapkan kisaran biaya
pada calon siswa. "Padahal, seharusnya siswa mendapat kemudahan
ketika akan memasuki sekolah," jelas pakar yang juga dosen ITS ini.
Daniel sendiri cukup prihatin dengan kondisi ini. Sebab, jika hal ini
tidak segera ditangani, maka akan menimbulkan satu lost generation
(satu generasi hilang). "Ini akan berdampak pada kondisi sosial
ekonomi di kota ini. Misalnya, tingginya angka kriminalitas maupun
hal lain. Dan ini adalah PR besar," lanjut Daniel kepada koran ini
kemarin.
Tapi, tampaknya angka ini tidak akan beranjak secara signifikan.
Sebab, Diknas tahun depan menargetkan angka APM bisa naik menjadi 92
persen. Mengapa? "Sebab, untuk bisa mengangkat APM secara cepat bukan
hal yang mudah. Banyak faktor yang melatarbelakangi hal ini," lanjutnya. (aris imam masyhudi
Labels: artikel
- T.h.e C.o.m.m.e.n.t -